
02 Dec Tanjidor
Salah satu jenis musik tradisional Jawa Barat yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa adalah Tanjidor. Musik ini hidup dan berkembang di daerah Bekasi dan Karawang. Mengingat daerah Bekasi dan Karawang berdekatan dengan Betawi, maka budaya Betawi sangat kental di kehidupan sosial budaya masyarakat daerah Bekasi dan Karawang, termasuk keseniannya (tanjidor).
Tanjidor merupakan ensambel musik yang namanya lahir pada masa penjajahan Hindia Belanda. Kata “tanjidor” berasal dari kata dalam bahasa Portugis, tangedor, yang berarti “alat-alat musik berdawai (stringed instruments)”. Tetapi kenyataannya, nama Tanjidor tidak sesuai lagi dengan istilah asli dari Portugis itu. Namun yang masih sama adalah sistem tangga nada dari tangedor, yakni sistem diatonik.
Alat-alat musik yang dimainkan seni Tanjidor adalah: klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur). Jenis alat musik yang dominan pada kesenian Tanjidor adalah alat musik tiup. Pemain-pemainnya terdiri dan 7 sampai 10 orang. Mereka mempergunakan peralatan musik Eropa tersebut, untuk memainkan reportoar lagu diatonik maupun lagu-lagu yang berlaras pelog bahkan slendro. Tentu saja terdengar suatu suguhan yang terpaksa, karena dua macam tangga nada yang berlawanan dipaksakan pada peralatan yang khas berisi kemampuan teknis nada-nada diatonik. Karena gemuruhnya bahan perkusi, dan keadaan alat-alat itu sendiri sudah tidak sempuma lagi memainkan laras diatonik yang murni, maka adaptasi pendengaran lama kelamaan menerimanya pula. Peralatan musik Tanjidor yang ditemui tidak ada yang masih baru, bekas peninggalan jaman Belanda, sekarang kebanyakan semuanya sudah bertambalan pateri dan kuning, karena proses oksidasi.
Disinyalir jenis musik ini muncul pada abad ke-18, yang ketika itu dimainkan untuk mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Musik tanjidor
sering ditampilkan pula untuk menyambut tamu agung. Pada zaman dahulu di kala musim menggarap sawah, para seniman menggantungkan alat-alat musik Tanjidor di rumahnya. Setelah panen selesai, barulah mereka berkutat kembali dengan alat-alat Tanjidor, kemudian ngamen dari rumah ke rumah, dari restoran ke restoran dalam kota Jakarta, Cirebon, dan daerah lainnya. Tanjidor ini akrab dengan perayaan Cina, Cap Go Meh; di Cirebon, terdapat pada jalan masuk kompleks masjid serta Makam Sunan Gunung Jati: merayakan hari besar Islam, atau hari sedekah bumi yang menjadi tradisi masyarakat petani di Cirebon. Diantara lagunya yang terkenal adalah Warung Pojok.
Di antara lagu-lagu lain yang sering dibawakan oleh Tanjidor, antara lain Kramton, Bananas, Cente Manis, Keramat Karam (Kramat Karem), Merpati Putih, Surilang, dll. Lagu Keramat Karam lahir karena peristiwa meletusnya Gunung Krakatau yang menelan banyak korban. Lagu-lagu tersebut dimainkan atas dasar keinginan masyarakat kota Betawi yang pada tahun 1920-an sangat digemari dan dianggap ‘lagu baru’ pada masa itu. Adapun Lagu Kramton dan Bananas adalah lagu Belanda berirama mars.
Ernst Heinz, seorang ahli Musikologi Belanda yang mengadakan penelitian musik rakyat di pinggiran Kota Jakarta tahun 1973, berpendapat bahwa musik rakyat daerah pinggiran itu berasal dari budak belian yang ditugaskan main musik untuk majikannya. Mula-mula pemain musik terdiri atas budak dan serdadu. Sesudah perbudakan dihapuskan, mereka digantikan pemusik bayaran. Tetapi yang jelas para pemusik itu orang Indonesia yang berasal dari berbagai daerah, diberi alat musik Eropa dan disuruh menghidangkan bermacam musik pada berbagai acara. Alat musik yang dipakai kebanyakan alat musik tiup, seperti klarinet, terompet Perancis, komet dan tambur Turki.
Pada mulanya mereka memainkan lagu-lagu Eropa karena harus mengiringi pesta dansa, polka, mars, lancier dan lagu-lagu parade. Lambat laun mereka juga mulai memainkan lagu-lagu dan irama khas Betawi. Instrumen yang kuat-kuat ini bisa dipakai turun-temurun. Setelah pemain tidak lagi menjadi bagian dalam rumah tangga orang Barat, lahirlah rombongan-rombongan amatir yang tetap menamakan diri “Tanjidor”.
Sumber : http://disparbud.jabarprov.go.id